unen-unen jawa
1. Aja ngandakake apa
wae kang ora kok ngerteni
2. Becik nacad
dacacadmu dhewe
3. Beda kulit beda
anggit
4. Calon durung mesthi
klakon
5. Cipta, rasa, karsa,
daya, lan karya kudu saena
6. Gemi, setiti,
ngati-ati kudu diudi
7. Gunakna tepa salira
8. Jiwa kang saras
dedunung ing raga kang waras
9. Kabeh kang lagi
wiwit iku angel
10. Mangan amrih urip
ora urip amrih mangan
11. Ngajeni ing liyan
ateges uga ngajeni awakmu dhewe
12. Ngudiya amrih
ditiru, aja mung tiru-tiru wae
13. Prakara iku geni
upamane, yen wis mubal angel anggone nyirep
14. Rai iku pangiloning
ati
15. Saben dino umurmu
suda
16. Teka katon raine,
lunga katon gegerre
17. Nandur kabecikkan
panen kabecikkan
18. Pinuju bungah
elingga susah, pinuju susah elingga bungah
19. Carane sinau iya
kudu sinau
20. Yen kepeksa nacad
anggunakna tembung manis .....
1.
Alon-alon waton klakon
Filosofi ini sebenarnya
berisikan pesan tentang safety . Orang dahulu sudah mengisyaratkan arti penting
filosofi ini, tapi banyak orang melecehkan bahkan menganggap sebagai sifat
malas orang jawa. Padahal kandungan maknanya sangat dalam. Filosofi ini
mengisyaratkan tentang kehati-hatian, waspada, istiqomah, keuletan, dan yang
jelas tentang safety. Di dunia modern masalah safety menjadi bagian terpenting
untuk keberhasilan suatu pekerjaan karena didalamnya ada aturan-aturan yang
menginstrusikan menghindari resiko-resiko yang akan terjadi.
2.
Narimo ing pandum
Sudah berapa sering
terdengar orang melecehkan filosofi ini. Biasanya orang hanya mengenal bahwa
orang jawa itu hanya bersikap ‘Nrimo” saja. Sifat pasrah dan mau dijajah oleh
penguasa. Padahal bukan hanya berhenti sampai di kata “Nrimo” saja. Tapi lebih
dari kata itu adalah ‘Nrimo ing Pandum’ atau Menerima kepada hasil pembagian.
Arti yang mendalam menunjukan pada sikap Kejujuran, keiklasan, ringan dalam
bekerja dan ketidakinginan untuk korupsi. Inti filosofi ini adalah Orang harus
iklas menerima hasil dari usaha yang sudah dia kerjakan. Biasanya orang yang
memegang teguh filosofi ini dia akan ringan dalam bekerja dan yang terpenting
adalah dipercaya oleh orang lain. Nah kepercayaan adalah hal terpenting dalam
dunia usaha. Bukan tidak mungkin kesuksesan selalu diterimanya oleh pemegang
filosofi ini.
3.
Saiki jaman edan yen ora edan ora
komanan, sing bejo sing eling lan waspodo
Orang indonesia
cenderung mengikuti mode, tren atau budaya yang sebenarnya belum saatnya kita
peroleh atau bahkan memang sangat tidak cocok dengan jiwa bangsa kita.
Kecenderungan mengikuti mengikuti tren itulah yang membuat lupa akan bahaya
yang mengancam. Hanya orang yang ingat kepada Allah (disini saja juga tidak
cukup) dan waspada terhadap duri-duri kehidupan yang setiap saat bisa datang
dan menghujam kehidupan, sehingga bisa mengakibatkan musibah yang
berkepanjangan. Pada filosofi ini kata ‘sing bejo sing eling lan waspodo’
sering tidak terdengar lagi. ‘Sekarang jaman gila kalau tidak ikut gila maka
tidak kebagian, hanya orang ingat (kepada Tuhan) dan waspada (bahaya) yang
menerima keberuntungan’. itulah arti dari filosofi diatas.
4.
Mangan ora mangan sing penting ngumpul
‘Makan tidak makan yang
penting kumpul’. Filosofi ini adalah sebuah peribahasa. Kalimat peribahasa
tidaklah tepat kalau diartikan secara aktual. Filosofi ini sangat penting bagi
kehidupan berdemokrasi. Kalau bangsa kita mendasarkan demokrasi dengan falsafah
diatas saya yakin negara kita pasti akan aman, tentram dan sejahtera. ‘Mangan
ora mangan’ melambangkan eforia demokrasi, yang mungkin satu pihak mendapatkan
sesuatu (kekuasaan) dan yang lain pihak tidak. Yg tdk dapat apa-apa tetap legowo.
‘Sing penting ngumpul’
melambangkan berpegang
teguh pada persatuan, yang artinya bersatu untuk tujuan bersama. Saya pikir
Filosofi ‘Mangan ora mangan sing penting kumpul’ adalah filosofi yang cocok
yang bisa mendasari kehidupan demokrasi bangsa Indonesia agar tujuan bangsa ini
tercapai.
5.
Wong jowo ki gampang di tekuk-tekuk.
Filosofi ini juga
berupa ungkapan peribahasa yang dalam bahasa Indonesia adalah ‘Orang Jawa itu
mudah ditekuk-tekuk’. Ungkapan ini menunjukan fleksibelitas dari orang jawa
dalam kehidupan. Kemudahan bergaul dan kemampuan hidup di level manapun baik
miskin, kaya, pejabat atau pesuruh sekali pun. Orang yang memegang filosofi ini
akan selalu giat
bekerja dan selalu ulet
dalam meraih cita- citanya. Filosofi inilah yang membuat masyarakat suku jawa
tersebar ke seluruh penjuru tanah air dan disayangi oleh suku lain.
6.
Ojo Rumongso Biso, Nanging Biso o
Rumongso
Ketika kita memperoleh
suatu pengetahuan, ilmu, atau pengalaman terkadang muncul sifat sombong dari
diri kita. Bahwa kita dapat menyelesaikan suatu masalah dengan ilmu atau
pengalaman yang kita peroleh. Padahal banyak faktor yang menentukan
penyelesaian suatu masalah dan bukan hanya dari sudut pandang yang kita pahami.
Di sini orang lantas merasa bisa, sifat ego manusia yang muncul tanpa menghiraukan
pendapat orang lain. Dalam filosofi Jawa, sifat ini yang dinamakan Rumongso
Biso (merasa bisa). Ajaran masyarakat Jawa menekankan untuk dapat melakukan
koreksi ke dalam, sehingga tidak terdorong untuk menghujat atau merendahkan
orang lain. Cobalah untuk memahami pendapat yang lain, walau hal itu mungkin
sangat bertentangan dengan yang kita yakini. Dengan Biso o Rumongso (bisa
merasa) atau melatih empati kita untuk memahami orang lain akan mendorong untuk
berkompromi mencapai suatu keseimbangan. Hal ini akan membuat semua
perselisihan atau konflik yang ada di dunia ini dapat teratasi. Janganlah
menjadi orang yang merasa bisa, melainkan yang bisa merasa.
sumber
: google
Mbak kula badhe nyuwun pirsa tegese unen-unen "Ngono ya ngono ning aja ngono niku napa nggih? matur nembah nuwun Mbak Rifa Nanik,
BalasHapusMaaf, ejaan pada teks di atas masih belum diperhatikan. Ragam bahasa tulis, mutlak membutuhkan kecermatan itu. Ini membahayakan pembaca yang masih dalam taraf belajar.
BalasHapusContoh:
Tertulis: “Ojo Rumongso Biso, Nanging Biso o Rumongso”
Seharusnya: “Aja rumangsa bisa, nanging bisaa rumangsa”