SLAMETAN
KEMATIAN
1. Penanggalan untuk menghitung
slametan
Salah
satu adat jawa diantaranya selamatan
meninggalnya seseorang. Pelaksanaan selamatan di masyarakat Jawa yaitu
selamatan untuk 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, pendak sepisan, pendak
pindho dan yang terakhir sebagai puncaknya adalah nyewu (1000 hari). Masyarakat
Jawa menghitung hari untuk selamatan
umumnya tidak dihitung satu persatu dari hari meninggalnya.
Ada
cara yang diyakini lebih praktis dari pada menghitung satu-persatu. Karena
selamatan hari kematian dihitung berdasarkan penanggalan jawa praktis, untuk
dapat menghitungnya kita harus mengenal dulu sistem penanggalan jawa,.
Menurut
sejarah, adat Jawa menggunakan kalender
Hijriyah (sebagai panduan beribadah umat
Islam) pada tahun 1625 Masehi mengganti penggunaan kalender jawa dari sistem
penanggalan Saka 1547 Tahun Saka. Diakui atau tidak di Indonesia dikenal beberapa
system kalender, diantaranya kalender Hijriyah, kalender Jawa , kalender
Masehi. Setiap sistem penanggalan dalam 1 tahun terdiri dari 12 bulan.
Perhatikan nama bulan dalam kalender di bawah ini, terdapat perbedaan dalam
jumlah hari.
No.
|
Bulan Hijriyah
|
Bulan Jawa
|
Jumlah hari
|
Bulan Masehi
|
Jumlah hari
|
1
|
Muharrom
|
Sura
|
30
|
Januari
|
31
|
2
|
Shafar
|
Sapar
|
29
|
Februari
|
28 / 29
|
3
|
Rabi’ul awal
|
Mulud
|
30
|
Maret
|
31
|
4
|
Rabi’ul akhir
|
Bakda mulud
|
29
|
April
|
30
|
5
|
Dzulhijjah
|
Jumadil awal
|
30
|
Mei
|
31
|
6
|
Jumadil akhir
|
Jumadil akhir
|
29
|
Juni
|
30
|
7
|
Rajab
|
Besar
|
29
|
Juli
|
31
|
8
|
Sya’ban
|
Ruah
|
29
|
Agustus
|
31
|
9
|
Romadlon
|
Pasa
|
30
|
September
|
30
|
10
|
Syawal
|
Sawal
|
29
|
Oktober
|
31
|
11
|
Dzuldo’dah
|
Sela
|
30
|
November
|
30
|
12
|
Jumadil awal
|
Rejeb
|
30
|
Desember
|
31
|
|
jumlah
|
|
354 / 355
|
|
356 / 366
|
Nama
bulan dan jumlah hari dalam sistem kalendder Hijriyah, kalender Jawa dan
Kalender Masehi sbb :
2. Slametan kenduri dalam prespektif
islam
Makanan
yang tersaji dalam upacara kenduri itu ditujukan untuk arwah (seperti
sesajian), maka ini termasuk syirik akbar yang menjadikan makanan tersebut
haram. Sedangkan bila makanan yang tersaji tersebut ditujukan sebagai jamuan
tamu, maka hukum asal makanannya adalah halal. Mengenai makanan yang
dihidangkan dalam upacara kenduri, salah seorang ulama Syaikh Bin Baz memfatwakan
agar sebaiknya kita tidak memakan kenduri yang dihidangkan / disuguhkan kepada
kita walaupun hukumnya boleh dimakan.
Hal
ini dimaksudkan sebagai bentuk pengingkaran terhadap bid’ah-bid’ah tersebut,
agar pelakunya sadar bahwa perbuatan tersebut tidak diperbolehkan dalam agama
dan kita tidak menyukainya. Insya Allah dengan begitu, adat bid’ah ini akan
terkikis sedikit demi sedikit hingga hilang total. Namun jika kita hanya
mengingkari dalam hati saja, dan tidak menampakkannya walaupun dalam bentuk
penolakan, maka budaya ini akan kuat terus mengakar di masyarakat.
Beliau
juga menambahkan kalau acaranya sekedar makan-makan (persis seperti syukuran),
tanpa dikaitkan dengan ibadah tertentu (spt dzikir, tahlil, doa bersama, dan
semisalnya) atau dengan tata cara tertentu (pada waktu dan tempat tertentu);
maka tidak mengapa. Seperti jika tiba-tiba diundang makan (ditraktir) oleh
seseorang. Tapi kalau dikaitkan dengan ibadah, dan dilakukan dengan cara,
waktu, dan tempat tertentu tanpa alasan yang logis; maka itu termasuk bid’ah.
Misal, mengkhususkan hidangan dengan tumpeng dan bukan yang lainnya. lalu
pemotongannya harus dari atas dan harus pake sambel warna ini dan itu. Atau
mengadakan perayaan-perayaan tertentu seperti sepasaran bayi, mitoni, dan
sebagainya dengan disertai undangan makan. Maka ini semua bid’ah.
3. Upacara Brobosan sebelum jenazah
diberangkatkan ke makam
Sebelum
jenazah diberangkatkan ke makam dilakukan suatu upacara yang disebut dengan
“upacara brobosan”. Upacara brobosan ini bertujuan untuk menunjukkan
penghormatan dari sanak keluarga kepada orang tua atau keluarga mereka
(jenazah) yang telah meninggal dunia. Upacara brobosan diselenggarakan di
halaman rumah orang yang meninggal sebelum dimakamkan dan dipimpin oleh anggota
keluarga yang paling tua. Namun sebelum
upacara dilakukan, biasanya diawali dengan beberapa sambutan dan ucapan
belasungkawa oleh beberapa pamong desa. Dan semua yang hadir ditempat itu harus
berdiri hingga jenazah benar-benar diberangkatkan.
Upacara
brobosan tersebut dilangsungkan dengan tata cara sebagai berikut:
1. Peti
mati dibawa keluar menuju ke halaman rumah dan dijunjung tinggi ke atas setelah
upacara doa kematian selesai.
2. Anak
laki-laki tertua, anak perempuan, cucu laki-laki dan cucu perempuan, berjalan
berurutan melewati peti mati yang berada di atas mereka (mrobos) selama tiga
kali dan searah jarum jam.
3. Urutan
selalu diawali dari anak laki-laki tertua dan keluarga inti berada di urutan
pertama; anak yang lebih muda beserta keluarganya mengikuti di belakang.
Setelah
itu jenazah diberangkatkan dengan keranda yang diangkat oleh anak-anaknya yang
sudah dewasa bersama dengan anggota keluarga pria lainnya, sedangkan seorang
memegang payung untuk menaungi bagian dimana kepala jenazah berada. Adapun
urutan untuk melakukan perjalanan ke pemakaman juga diatur. Yang berada
diurutan paling depan adalah penabur sawur (terdiri dari beras kuning dan mata
uang), kemudian penabur bunga dan pembawa bunga, pembawa kendi, pembawa foto
jenazah, keranda jenazah, barulah dibagian paling belakang adalah keluarga
maupun kerabat yang turut menghantarkan. Namun dalam keyakinan orang Jawa,
seorang wanita tidak diperkenankan untuk memasuki area pemakaman. Jadi mereka
hanya boleh menghantarkan sampai didepan pintu pemakaman saja. Dan mereka yang
masuk hanyalah kaum pria tanpa memakai alas kaki.
4. Prosesi kenduri setelah kematian
Kematian
merupakan salah satu kejadian dari hidup yang dialami oleh setiap makhluk
hidup.seperti halnya kelahiran, semua makhluk hidup juga akan mengalami saat
kematian pada waktu yang telah ditentukan.
Dalam
pemahaman orang Jawa, bahwa nyawa orang yang telah mati itu sampai dengan waktu
tertentu masih berada di sekeliling keluarganya. Oleh karena itu kita sering
mendengar istilah selametan yang dilakukan untuk orang yang telah meninggal.
Berikut diantaranya ritual yang dilakukan menurut adat istiadat Jawa.
1.
Upacara
Ngesur Tanah (Geblag)
Upacara ngesur tanah merupakan upacara
yang diselenggarakan pada saat hari meninggalnya seseorang. Upacara ini
diselenggarakan pada sore hari setelah jenazah dikuburkan. Istilah sur tanah
atau ngesur tanah berarti menggeser tanah (membuat lubang untuk penguburan
mayat). Makna sur tanah adalah memindahkan alam fana ke alam baka dan wadag
semula yang berasal dari tanah akan kembali ke tanah juga.
Bahan yang digunakan untuk kenduri
terdiri atas:
1. Nasi
gurih (sekul wuduk)
2. Ingkung
(ayam dimasak utuh)
3. Urap
(gudhangan dengan kelengkapannya)
4. Cabai
merah utuh
5. Krupuk
rambak
6. Kedelai
hitam
7. Bawang
merah yang telah dikupas kulitnya
8. Bunga
kenanga
9. Garam
yang telah dihaluskan
10. Tumpeng
yang dibelah dan diletakkan dengan saling membelakangi (tumpeng
ungkur-ungkuran)
2.
Upacara
tigang dinten (tiga hari)
Upacara ini merupakan upacara kematian
yang diselenggarakan untuk memperingati tiga hari meninggalnya seseorang. Peringatan
ini dilakukan dengan kenduri dengan mengundang kerabat dan tetangga terdekat.
Bahan untuk kenduri biasanya terdiri
atas:
1. Takir
potang yang berisi nasi putih dan nasi punar dan lauk pauknya, dilengkapi
dengan sudi-sudi yang berisi kecambah, kacang panjang yang telah dipotongi,
bawang merah yang telah diiris, garam yang telah digerus (dihaluskan), kue apem
putih, uang, gantal dua buah.
2. Nasi
asahan dengan daging ayam yang telah digoreng, lauk-pauk kering, sambal santan
dan sayur menir.
Maksudnya
juga tidak terlalu jauh berbeda dengan upacara ngesur tanah diatas, yaitu agar
roh yang meninggal mendapatkan jalan terang menghadap Tuhan. Secara rasional,
makna upacara ini adalah menyempurnakan 4 perkara yang disebut anasir; yaitu
bumi, angin, api dan air atau nafsu luamah, amarah ,sufiah ,mutmainah.
3.
Upacara
pitung dinten (tujuh hari)
Upacara ini untuk memperingati tujuh
hari meninggalnya seseorang.Bahan yang digunakna untuk kenduri biasanya terdiri
atas:
1. Kue
apem yang di dalamnya diberi uang logam, ketan, kolak (semuanya diletakkan
dalam satu takir dari daun pisang)
2. Nasi
asahan dengan lauk pauk, daging goreng, pindang merah yang dicampur dengan
kacang panjang yang diikat kecil-kecil, dan daging jeroan yang ditempatkan
dalam wadah berbentuk kerucut (conthong), serta pindang putih.
Maksud
selamatan ini ialah sama dengan selamatan tiga hari, dan bermakna unruk
menyempurnakan kulit dan kuku jenazah.
4. Upacara sekawan dasa dinten
(empat puluh hari)
Upacara
ini untuk memperingati empat puluh hari meninggalnya seseorang. Biasanya
peringatannya dilakukan dengan kenduri. Bahan untuk kenduri biasanya sama
dengan kenduri pada saat memperingati tujuh hari meninggalnya, namun ada
tambahan dengan selamatan kataman(pembacaan Al-Qur’an)yang sesajinya adalah
sebagai berikut:
1. Nasi
wuduk
2. Ingkung
3. Kedelai
hitam
4. Cabai
merah utuh
5. Rambak
kulit
6. Bawang
merah yang telah dikupas kulitnya
7. Garam
8. Bunga
kenanga
Maksud
selamatan ini supaya roh yang meninggal dunia diterima Tuhan sesuai dengan amal
baktinya semasa hidup. Makna dari selamatan ini adalah menyempurnakan pembawaan
dari ayah dan ibunya berupa darah, daging, sumsum, jeroan (isi perut), kuku,
rambut, tulang dan otot.
5. Upacara nyatus (seratus hari)
Upacara
ini untuk memperingati seratus hari meninggalnya seseorang. Tata cara dan bahan
yang digunakan untuk memperingati seratus hari meninggalnya pada dasarnya sama
dengan ketika melakukan peringatan empat puluh hari. Disebut juga selamatan
mendhak pisan (setahun pertama).
Upacara
mendhak pisan merupakan upacara yang diselenggarakan ketika orang meninggal
pada setahun pertama. Tata cara dan bahan yang diigunakan untuk memperingati
seratus hari meninggalnya pada dasarnya sama dengan ketika melakukan peringatan
seratus hari. Dan juga Selamatan mendhak pindho (tahun kedua).Upacara mendhak
pindho merupakan upacara terakhir untuk memperingati meninggalnya seseorang.
Tata cara dan bahan yang digunakan untuk memperingati seratus hari meninggalnya
pada dasarnya sama dengan ketika melakukan peringatan mendhak pisan. Maksudnya
juga seperti selamatan 40 hari, yaitu untuk menyempurnakan semua yang bersifat
badan wadag (jasad)
6. Upacara seribu hari (nyewu)
Merupakan
peringatan seribu hari bagi orang yang sudah meninggal. Peringatan dilakukan
dengan mengadakan kenduri yang diselenggarakan pada malam hari. Biasanya
diadakan secara besar-besaran, dibacakan ayat suci Al-Qur’an dan disebut
upacara tahlilan.Bahan yang digunakan untuk kenduri sama dengan bahan yang
digunakan pada peringatan empat puluh hari. ditambah dengan:
1. Menyembelih
seekor kambing, Hal ini dimaksudkan untuk mengirim tunggangan bagi arwah yang
mati supaya lekas sampai surga.
2. Sesaji,
terdiri atas tikar bangka, benang lawe empat puluh helai, jodhog, clupak berisi
minyak kelapa dan uceng-uceng (sumbu lampu), minyak kelapa satu botol, sisir,
serit, cepuk berisi minyak tua, kaca/cermin, kapuk, kemenyan, pisang raja
setangkep, gula kelapa setangkep, kelapa utuh satu butir, beras satu takir,
sirih dengan kelengkapan untuk menginang, bunga boreh. Semuanya diletakkan di
atas tampah dan diletakkan di tempat orang berkenduri untuk melakukan doa.
Makna
dari upacara ini adalah untuk menyempurnakan kulit, daging dan jeroan jenazah.
7. Nyadran
Nyadran
adalah hari berkunjung ke makam para leluhur/kerabat yang telah mendahului.
Nyadran ini dilakukan pada bulan Ruwah atau bertepatan dengan saat menjelang
puasa bagi umat Islam. Nyadran dilakukan oleh orang sedesa dengan menyembelih 1
ekor kambing. Kata ruwah sendiri merupakan singkatan dari weruh arwah jadi
dimaksudkan untuk melihat arwah para leluhur.
Disetiap
selamatan yang telah disebutkan diatas, selalu menggunakan kembang setaman,
yang bermakna penghormatan kepada jenazah dan untuk mengenang kebikan-kebaikan
yang dilakukan selama hidupnya dan suatu upaya keluarga untukk mendo’akan agar
arwahnya diterima Tuhan. Dan setiap sesajen kenduri / selamatan, bermakna agar
keselamatan selalu mengiringi orang yang meninggal sampai menghadap Tuhan.
Budaya
Jawa terkenal mudah untuk menyerap budaya dari luar yang masuk tanpa kehilangan
identitasnya. Suatu misal, dengan masuknya agama Islam, ritual selametan
biasanya ditambahi dengan pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an, seperti Surat Yasiin
dan Tahlil.
Meski
bagi sebagian masyarakat yang memahami Islam secara murni hal ini dapat
dikategorikan sebagai bid’ah, namun bagi masyarakat yang masih memegang teguh
tradisi leluhur hal ini sulit untuk ditinggalkan. Masyarakat merasa takut jika
tidak melaksanakannya karena mereka menganggap ada konsekuensinya jika tidak
melaksanakan. Berdasarkan observasi yang kami lakukan, di desa Salaman
Kabupaten Karanganyar banyak warga yang menyebut bahwa kenduri/ selamatan atas
meninggalnya seseorang yang mereka lakukan itu adalah warisan dari orang tua
dahulu, banyak dari mereka yang kurang faham mengenai makna kenduri tersebut,
yang mereka tahu adalah dengan kenduri/ selamatan mereka akan memperoleh
keselamatan dunia maupun akhirat.
5. Ubo rampe dalam kenduri
1. Daun
kelor atau dhadhap srep : bermakna bahwa mayit yang dimandikan hilang dari
dosa-dosanya (simbol daun kelor), jalan menuju Tuhan akan mudah dan akan
menjadi damai (simbol daun dhadhap srep).
2. Menyembelih
kambing : bermakna sebagai tunggangan mayat untuk menuju ke hadapan Tuhan. Kambing
ini dimaksudkan sebagai tumpakan roh orang yang mati agar selamat melewati wot
siratolmustakim.
3. Burung
merpati sepasang : bermakna agar mayat diharapkan saat menghadap Tuhan dalam
keadaan suci bersih tanpa dosa dan beban.
4. Sesajen
kenduri : bermakna agar keselamatan selalu mengiringi orang yang meninggal
sampai menghadap Tuhan.
5. Kelapa
muda : mempunyai arti toya wening/toya suci (air yang melambangkan kehingan dan
kesucian). Jadi kelapa muda merupakan simbol yang mengandung harapan agar orang
yang barusaja meninggal dilimpahi kesucian sehingga dapat segera menghadap
Tuhan.
6. Payung
: Payung merupakan tanda belas kasih cinta sanak keluarga terhadap orang yang
baru saja meninggal. Dimaksudkan agar orang yang baru saja meninggal itu tidak
kehujanan dan kepanasan selama di liang kubur.
7. Kembang
setaman : bermakna penghormatan kepada jenazah dan untuk mengenang
kebaikan-kebaikan yang dilakukannya selama hidupnya dan juga suatu upaya
keluarga untuk mendoakan agar arwahnya diterima Tuhan.
8. Tumpeng
ungkur-ungkuran : bermakna bahwa mayit telah berpisah antara jasmani dan
rohnya. Tumpeng Pungkur – digunakan pada saat kematian seorang wanita atau pria
yang masih lajang. Dibuat dari nasi putih yang disajikan dengan lauk-pauk
sayuran. Tumpeng ini kemudian dipotong vertikal dan diletakkan saling
membelakangi. Tumpeng pungkur mempunyai makna simbolis agar roh yang telah
meninggal tidak lagi memikirkan keduniawian dan keluarga yang ditinggalkannya.
Roh harus ngungkurake donyane atau membelakangi dunia fana dan berpisah dengan
badan kasar serta nafsunya (napsu patang pralcara). Di pihak lain, keluarga
yang ditinggalkan tidak perlu lagi mengingat-ingat yang sudah mati. Tumpeng
sebagai lambang seks (alat kelamin) laki-laki. Karena itu jika seseorang telah
meninggal dunia, maka nafsu seks pun juga telah mati. Tumpeng juga melambangkan
perpisahan antara suksma sejati dengan badan kasar dan nafsunya.
9. Tumpeng
Nasi Putih – warna putih pada nasi putih menggambarkan kesucian dalam adat
Jawa.
10. Nasi
putih: berbentuk gunungan atau kerucut yang melambangkan tangan yang merapat
menyembah tuhan. Nasi putih juga melambangkan bahwa segala sesuatu yang kita
makan menjadi darah dan daging haruslah dipilih dari sumber yang bersih atau
halal. Bentuknya yang berupa gunungan juga dapat diartikan sebagai harapan agar
kesejahteraan hidup kita semakin “naik” dan “tinggi”.
11. Tumpeng
: sebuah nasi yang dibentuk menyerupai gunung, mengerucut. Orang Jawa kuno
mempercayai bahwa di tempat yang tinggi yaitu gunung roh-roh nenek moyang
bersemayam. Dengan membuat tumpeng diharapkan roh nenek moyang hadir dalam
acara yang diadakan oleh manusia. Pada masyarakat Hindu tumpeng dilambangkan
sebagai gunung Mahameru yang merupakan tempat yang suci dan keramat dimana
disitu adalah tempat bersemayamnya para dewa. Dalam islam tumpeng yang
mengerucut ke atas merupakan filosofi ke Esaan. Dengan adanya tumpeng yang
memiliki filosofi seperti itu diharapkan manusia bisa selalu ingat pada
kekuasaan Allah SWT, dan juga merupakan bentuk rasa syukur kepada Tuhan YME,
Rasul, serta danyang yang telah menjadi pondasi suatu daerah.
12. Sega
asahan (ambeng) adalah nasi yang dikemas berbentuk bulat dan agak mbenunuk
(seperti bukit yang rendah). Bentuk semacam ini melambangkan alat seks (alat
kelamin) seorang wanita. Jika seseorang telah meninggal maka nafsu seksualnya
sudah tiada lagi. Dengan kata lain bahwa yang bersangkutan sudah sampai ke
tingkat ambeng (ngambang) atau hilang sarna sekali nafsu seksualnya.
13. Pisang:
Dalam kenduri pisang dikaitkan dengan kata pisah, yang artinya dalam kehidupan
manusia tidak terpisah dari sang penguasa, jadi hendaknya manusia harus selalu
ingat kepada sang penguasa. Pemakaian pisang raja satu sisir yang diikat dengan
benang putih. Benang tadi oleh kaum pada saat memimpin doa (ngekralke) diputus
menggunakan gunting. Pemutusan ini menandai bahwa sudah tidak ada hubungan lagi
antara roh orang yang meninggal dengan keluarga.
14. Ingkung
ayam adalah ayam utuh yang dibentuk seperti posisi wanita duduk timpuh atau
seperti posisi orang sedang duduk pada saat shalat. Bentuk semacam ini
menggambarkan sikap orang yang sedang manekung (bersemadi). Hal ini sesuai
dengan makna kata ingkung yang berasal dari kata ing (ingsun) dan kung
(manekung). Kata ingsun berarti aku dan kata manekung berarti berdoa dengan
penuh khidmat. Dengan demikian ingkung merupakan perwujudan sikap ahli waris
yang dengan sungguh-sungguh memohon doa agar anggota keluarganya yang telah
meninggal diampuni segala dosa-dosanya dan mendapatkan tempat yang semestinya.
Ayam utuh atau ingkung: ayam jika diberi makan tidak langsung dimakan tapi
dipilih yang baik dulu yang dimakan, manusia diharapkan bisa memilih mana yang
baik dan mana yang buruk. Ingkung ayam adalah ayam utuh yang dibentuk seperti
posisi wanita duduk timpuh atau seperti posisi orang sedang duduk pada saat shalat.
Bentuk semacam ini menggambarkan sikap orang yang sedang manekung (bersemadi).
Hal ini sesuai dengan makna kata ingkung yang berasal dari kata ing (ingsun)
dan kung (manekung). Kata ingsun berarti aku dan kata manekung berarti berdoa
dengan penuh khidmat. Dengan demikian ingkung merupakan perwujudan sikap ahli
waris yang dengan sungguh-sungguh memohon doa agar anggota keluarganya yang
telah meninggal diampuni segala dosa-dosanya dan mendapatkan tempat yang
semestinya. Ayam jago atau jantan yang dimasak utuh ingkung dengan bumbu
kuning/kunir dan diberi kaldu santan yang kental merupakan simbol menyembah
Tuhan dengan khusuk (manekung) dengan hati yang tenang (wening). Ketenangan
hati dicapai dengan mengendalikan diri dan sabar (nge’reh’ rasa). Menyembelih
ayam jago juga mempunyai makna menghindari sifat-sifat buruk yang dilambangkan
oleh ayam jago, diantaranya adalah sombong, congkak, kalau berbicara selalu
menyela dan merasa tahu/menang/benar sendiri (berkokok), tidak setia, dan tidak
perhatian dengan anak istri.
15. Serundeng:
parutan dari kelapa yang digoreng, aroma dari serundeng ini dipercaya menyengat
sampai ke akhirat, untuk itu dibuat serondeng agar arwah leluhur datang ke
acara kenduri.
16. Cok
bakal: isi cok bakal adalah telur, kemiri, bunga mawar, yang diwadahkan daun
pisang (takir). Warna putih pada telur berarti bersih sedangkan warna kuning
berarti cahaya Illahi, diadakan telur agar manusia selalu ingat akan awal dari
kehidupan yang diciptakan dari Tuhan. Kemiri merupakan salah satu jenis dari
pohon dimana pohon mengalami siklus yang berawal dari biji, kemudian tumbuh,
berbunga, berbuah, setelah itu mati. Ini agar mengingatkan agar manusia
menyadari dari mana ia berasal dan kembali kepada siapa. Bunga yang ada dalam
cok bakal memiliki bau yang harum, bunga mengingatkan akan arwah leluhur dan
mengundang leluhur.
17. Kembang
telon: kembang telon isinya adalah bunga mawar, kanthil, dan kenanga. Warna
merah pada bunga mawar merupakan perlambang manusia berasal dari darah merah
ibu, warna putih pada kanthil perlambang bahwa manusia berasal dari air yang
berwarna putih (mani) yang asalnya dari ayah, dan kenanga memiliki kenang-a
yang berarti tercapai. Kembang telon juga melambangakn jika manusia mati maka
yang di tinggalkan adah tiga perkara yaitu amal jariyah, ilmu yang bermanfaat,
dan anak soleh.
18. Beras
kuning dan koin: warna kuning merupakan warna keemasan atau kejayaan. Beras
kuning dan koin disebarkan di sepanjang jalan krtika mengantar jenazah sampai
makam. Maknanya adalah agar manusia selalu beramal, lebih-lebih ketika seorang
tersebut berada pada tarap kejayaan.
19. Ikan
Teri/Gereh Pethek: ikan ini dapat digoreng dengan tepung atau tanpa tepung.
Ikan teri ukurannya sangat kecil dan mudah menjadi santapan ikan yang leih
besar apabila ia berenang sendirian. Oleh karena itu ikan teri hidupnya selalu
bergerombol. Ini mengingatkan manusia bahwa mereka tidak bisa hidup sendiri.
Mereka adalah makhluk yang lemah dan membutuhkan bantuan orang lain untuk
hidup. Dengan demikian, ikan teri melambangkan kerukunan dan kerjasama yang
harus dibina sesama manusia.
20. Maksud
dari sajian diharuskan ganjil masih perlu lanjut. Masyarakat Jawa percaya bahwa
bilangan ganjil “istimewa” dalam arti tidak dapat dibagi-bagi. Hal ini
ditelusuri lebih memiliki nilai melambangkan perjalanan roh dan proses
kembalinya jasad untuk menuju pada satu titik, yaitu titik kasampuman
(kesempumaan). Kesempumaan bermakna satu, yaitu identik dengan bilangan ganjil.
21. Sekul
wuduk (sega rasul) adalah nasi yang diberi garam. Nasi ini rasanya asin sebagai
simbol keilmuan Rasul yang sangat tinggi dan luas sehingga ada peribahasa bahwa
orang yang berilmu adalah orang yang banyak malcangaram. Nasi ini oleh Modin
(Kaum Rois) sering diikrarkan sebagai tanda penghormatan kepada Rasulullah
dengan harapan bahwa roh orang yang meninggal termasuk golongan Rasul, sehingga
kelak di akhirat akan mendapatkan safaat Rasul.
22. Nasi
gurih adalah nasi bersantan yang diberi wama kuning keemasan. Wama ini sebagai
lambang kemenangan. Dengan ubarampe, ahli waris mengharapkan agar anggota
keluarga yang meninggal dunia kelak mendapatkan kemenangan di akhirat. Artinya,
jika nanti yang bersangkutan ditimbang amalnya, amal baiknya akan menang (lebih
berat) dibanding amal jeleknya.
23. Apem,
ketan, serta pura: apem (afwun) yang artinya ampun, ketan (khata-an) yang
berarti kesalahan dan pura (ngapura) yang berarti maaf. Ketiga makanan ini
artinya adalah sama yaitu memohon ampun kepada sang penguasa.
24. Ubarampe
apem, saji-sajian selamatan dalam kenduri nelung dina dimaksudkan untuk
memberikan penghormatan kepada roh lain agar tidak mengganggu roh orang yang
telah meninggal.
25. Apem
dan pasung. Kata apem kemungkinan berasal dari kata Arab afufun yang artinya
mohon ampun. Ubarampe ini disajikan denan maksud agar orang yang meninggal
diampuni segala dosa-dosanya. Ubarampe apem berbentuk bulatan lepek seperti
piring kecil. Bentuk ini mengandung makna sebagai alas jika orang yang
meninggal nanti panas akan melewati ara-ara Ma’sar yang sangat lebar.
Sebagai
jodoh apem adalah pasung yang kemungkinan besar berasal dari perubahan bunyi
kata payung. Pasung dari daun nangka yang dibentuk seperti payung atau dalam
bahasa Jawa karma disebut songsong. Maksudnya, agar orang yang meninggal
mendapatkan songsong (perlindungan) dari Tuhan.
Karena
orang yang meninggal akan melewati jalan panjang dan panas, maka untuk dia
dibuatkan ketan sebagai alas (lemek) agar kakinya tidak panas. Ketan juga
bermakna raketan artinya mendekatankan diri kepada Tuhan.
Sajian
juga dilengkapi kolak yang berasal dari kata khalik atau kolaq (pencipta).
Dengan sajian semacam ini, diharapkan orang yang meninggal akan dengan lancar
menghadap Sang Khalik.
6. Makna filosofi
makanan dalam kenduren
Tradisi
kenduri memiliki berbagai macam ketentuan khusus yang harus dilaksanakan sesuai
adat istiadat yang berlaku sejak zaman dahulu. Berawal dari persiapan berbagai
macam makanan khas kenduri yang terdiri dari nasi gurih, nasi putih, nasi
golong, rempeyek kacang, teri, krupuk, tempe, thontho, ayam ingkung, sambel
ghepeng, sambel kacang panjang, lalapan, jenang (bubur) merah putih, dan jenang baro-baro, yaitu jenang katul
yang diberi parutan kelapa dan sisiran gula jawa. Beberapa dari unsur
makanan tersebut memiliki makna tersendiri yang sangat erat hubungannya dengan
alam sekitar.
Unsur-unsur
makanan yang terdapat dalam acara tersebut cukup lengkap dan banyak variasi.
Masyarakat jawa tentunya memiliki alasan mengapa menyajikan berbagai jenis
makanan yang begitu lengkap untuk sebuah acara Kenduri. Berikut dijelaskan
alasan mendasar atas penyajian berbagai jenis makanan dalam acara kenduri.
Islam di Indonesia tentu berbeda dengan Islam yang berkembang di Timur Tengah,
sebelum Islam masuk orang-orang Jawa banyak sekali yang menganut agama Hindu
yang pada saat itu berkembang pesat di nusantara, bahkan ada juga kalangan
masyarakat Jawa yang menganut agama Jawa sebagai pedoman hidup mereka, dan
hal–hal yang demikian itu berakulturasi seiring dengan masuknya islam di tanah
Jawa dan kemudian melebur menjadi satu yang kemudian sering kita kenal dengan
sebutan islam Jawa atau islam kejawen.
Sebenarnya,
keberadaan Islam kejawen hingga saat ini masih menimbulkan kontroversia. Itu
artinya, ada perbedaan pendapat mengenai status aliran islam kejawen ini. Bagi
mereka yang pro (mendukung), tentu aliran ini dianggap sah-sah saja tampa
menyalahi ajaran Islam. Namun, bagi mereka yang kontra (menolak), maka aliran
ini dianggap sesat dan menyesatkan. Nah yang menjadi persoalan, jika memamng
Islam kejawen itu sesat dan kafir, lantas mengapa para wali (khusunya Sunan
Kalijaga) yang nota bene adalah gurunya para wali di Tanah Jawa, menggunakan
media kejawen sebagai media dakwah penyebaran Islam? Tentunya, masing-masing
dari kita memiliki jawaban yang berbeda tentang masalah ini.
7. Roh-roh yang
Manuksma pada jasad manusia
Sinkretisme
Jawa dengan Islam membuahkan konsep “Islam Kejawen” dalam menjelaskan perkara
“hidup-mati” manusia. Diantaranya, bahwa manusia hidup disebut utuh (jangkep)
bilamana telah bersatu dan “kasuksma” 8 Roh: Roh Idhofi (Suksma Sejati), Roh
Rohani, Roh Jasmani, Roh Nurani, Roh Rahmani, Roh Nabati, Roh Rewani dan Roh
Rabani. Ketika manusia meninggal, maka roh-roh yang Manuksma pada jasad manusia
tersebut secara bergiliran melepaskan diri.
Keterangannya
sebagai berikut :
1. Pada
saat meninggal yang terlepas adalah roh utama manusia yang di sebut Suksmâ
Sêjati atau Roh Idhofi yang semasa manusianya hidup roh tersebut menyatu dengan
karakter dan watak manusianya.
2. Pada
Hari ke tiga yang terlepas adalah Roh Rohani yang menyatu dengan nafsu.
3. Pada
Hari ke tujuh yang terlepas adalah Roh Jasmani yang menyatu dengan sifat baik
manusia
4. Pada
Hari ke empat puluh yang terlepas adalah Roh Nurani yang menyatu dengan akal
budi manusia.
5. Pada
Hari ke seratus yang terlepas adalah Roh Rahmani yang mengatur iman dan budi
pekerti manusia.
6. Pada
Satu tahun pertama yang terlepas adalah Roh Nabati yang mengatur perkembangan
fisik manusia.
7. Pada
Satu tahun kedua yang terlepas adalah Roh Rewani yang juga mengatur
perkembangan fisik manusia.
8. Pada
1000 hari yang terlepas adalah Roh
Rabani yang semasa manusiahidup mengatur peredaran darah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar