Rabu, 17 Desember 2014

SLAMETAN KEMATIAN

1.      Penanggalan untuk menghitung slametan
Salah satu  adat jawa diantaranya selamatan meninggalnya seseorang. Pelaksanaan selamatan di masyarakat Jawa yaitu selamatan untuk 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, pendak sepisan, pendak pindho dan yang terakhir sebagai puncaknya adalah nyewu (1000 hari). Masyarakat Jawa menghitung  hari untuk selamatan umumnya tidak dihitung satu persatu dari hari meninggalnya.
Ada cara yang diyakini lebih praktis dari pada menghitung satu-persatu. Karena selamatan hari kematian dihitung berdasarkan penanggalan jawa praktis, untuk dapat menghitungnya kita harus mengenal dulu sistem penanggalan jawa,.
Menurut sejarah, adat  Jawa menggunakan kalender Hijriyah  (sebagai panduan beribadah umat Islam) pada tahun 1625 Masehi mengganti penggunaan kalender jawa dari sistem penanggalan Saka 1547 Tahun Saka. Diakui atau tidak di Indonesia dikenal beberapa system kalender, diantaranya kalender Hijriyah, kalender Jawa , kalender Masehi. Setiap sistem penanggalan dalam 1 tahun terdiri dari 12 bulan. Perhatikan nama bulan dalam kalender di bawah ini, terdapat perbedaan dalam jumlah hari.
No.

Bulan Hijriyah

Bulan Jawa

Jumlah hari

Bulan Masehi           

Jumlah hari

1
Muharrom
Sura
30
Januari
31
2
Shafar
Sapar
29
Februari
28 / 29
3
Rabi’ul awal
Mulud
30
Maret
31
4
Rabi’ul akhir
Bakda mulud
29
April
30
5
Dzulhijjah
Jumadil awal
30
Mei
31
6
Jumadil akhir
Jumadil akhir
29
Juni
30
7
Rajab
Besar
29
Juli
31
8
Sya’ban
Ruah
29
Agustus
31
9
Romadlon
Pasa
30
September
30
10
Syawal
Sawal
29
Oktober
31
11
Dzuldo’dah
Sela
30
November
30
12
Jumadil awal
Rejeb
30
Desember
31

jumlah

354 / 355

356 / 366
Nama bulan dan jumlah hari dalam sistem kalendder Hijriyah, kalender Jawa dan Kalender Masehi sbb :



2.      Slametan kenduri dalam prespektif islam
Makanan yang tersaji dalam upacara kenduri itu ditujukan untuk arwah (seperti sesajian), maka ini termasuk syirik akbar yang menjadikan makanan tersebut haram. Sedangkan bila makanan yang tersaji tersebut ditujukan sebagai jamuan tamu, maka hukum asal makanannya adalah halal. Mengenai makanan yang dihidangkan dalam upacara kenduri, salah seorang ulama Syaikh Bin Baz memfatwakan agar sebaiknya kita tidak memakan kenduri yang dihidangkan / disuguhkan kepada kita walaupun hukumnya boleh dimakan.
Hal ini dimaksudkan sebagai bentuk pengingkaran terhadap bid’ah-bid’ah tersebut, agar pelakunya sadar bahwa perbuatan tersebut tidak diperbolehkan dalam agama dan kita tidak menyukainya. Insya Allah dengan begitu, adat bid’ah ini akan terkikis sedikit demi sedikit hingga hilang total. Namun jika kita hanya mengingkari dalam hati saja, dan tidak menampakkannya walaupun dalam bentuk penolakan, maka budaya ini akan kuat terus mengakar di masyarakat.
Beliau juga menambahkan kalau acaranya sekedar makan-makan (persis seperti syukuran), tanpa dikaitkan dengan ibadah tertentu (spt dzikir, tahlil, doa bersama, dan semisalnya) atau dengan tata cara tertentu (pada waktu dan tempat tertentu); maka tidak mengapa. Seperti jika tiba-tiba diundang makan (ditraktir) oleh seseorang. Tapi kalau dikaitkan dengan ibadah, dan dilakukan dengan cara, waktu, dan tempat tertentu tanpa alasan yang logis; maka itu termasuk bid’ah. Misal, mengkhususkan hidangan dengan tumpeng dan bukan yang lainnya. lalu pemotongannya harus dari atas dan harus pake sambel warna ini dan itu. Atau mengadakan perayaan-perayaan tertentu seperti sepasaran bayi, mitoni, dan sebagainya dengan disertai undangan makan. Maka ini semua bid’ah.

3.      Upacara Brobosan sebelum jenazah diberangkatkan ke makam
Sebelum jenazah diberangkatkan ke makam dilakukan suatu upacara yang disebut dengan “upacara brobosan”. Upacara brobosan ini bertujuan untuk menunjukkan penghormatan dari sanak keluarga kepada orang tua atau keluarga mereka (jenazah) yang telah meninggal dunia. Upacara brobosan diselenggarakan di halaman rumah orang yang meninggal sebelum dimakamkan dan dipimpin oleh anggota keluarga yang paling tua.  Namun sebelum upacara dilakukan, biasanya diawali dengan beberapa sambutan dan ucapan belasungkawa oleh beberapa pamong desa. Dan semua yang hadir ditempat itu harus berdiri hingga jenazah benar-benar diberangkatkan.
Upacara brobosan tersebut dilangsungkan dengan tata cara sebagai berikut:
1.      Peti mati dibawa keluar menuju ke halaman rumah dan dijunjung tinggi ke atas setelah upacara doa kematian selesai.
2.      Anak laki-laki tertua, anak perempuan, cucu laki-laki dan cucu perempuan, berjalan berurutan melewati peti mati yang berada di atas mereka (mrobos) selama tiga kali dan searah jarum jam.
3.      Urutan selalu diawali dari anak laki-laki tertua dan keluarga inti berada di urutan pertama; anak yang lebih muda beserta keluarganya mengikuti di belakang.
Setelah itu jenazah diberangkatkan dengan keranda yang diangkat oleh anak-anaknya yang sudah dewasa bersama dengan anggota keluarga pria lainnya, sedangkan seorang memegang payung untuk menaungi bagian dimana kepala jenazah berada. Adapun urutan untuk melakukan perjalanan ke pemakaman juga diatur. Yang berada diurutan paling depan adalah penabur sawur (terdiri dari beras kuning dan mata uang), kemudian penabur bunga dan pembawa bunga, pembawa kendi, pembawa foto jenazah, keranda jenazah, barulah dibagian paling belakang adalah keluarga maupun kerabat yang turut menghantarkan. Namun dalam keyakinan orang Jawa, seorang wanita tidak diperkenankan untuk memasuki area pemakaman. Jadi mereka hanya boleh menghantarkan sampai didepan pintu pemakaman saja. Dan mereka yang masuk hanyalah kaum pria tanpa memakai alas kaki.
4.      Prosesi kenduri setelah kematian
Kematian merupakan salah satu kejadian dari hidup yang dialami oleh setiap makhluk hidup.seperti halnya kelahiran, semua makhluk hidup juga akan mengalami saat kematian pada waktu yang telah ditentukan.
Dalam pemahaman orang Jawa, bahwa nyawa orang yang telah mati itu sampai dengan waktu tertentu masih berada di sekeliling keluarganya. Oleh karena itu kita sering mendengar istilah selametan yang dilakukan untuk orang yang telah meninggal. Berikut diantaranya ritual yang dilakukan menurut adat istiadat Jawa.

1.      Upacara Ngesur Tanah (Geblag)
Upacara ngesur tanah merupakan upacara yang diselenggarakan pada saat hari meninggalnya seseorang. Upacara ini diselenggarakan pada sore hari setelah jenazah dikuburkan. Istilah sur tanah atau ngesur tanah berarti menggeser tanah (membuat lubang untuk penguburan mayat). Makna sur tanah adalah memindahkan alam fana ke alam baka dan wadag semula yang berasal dari tanah akan kembali ke tanah juga.
Bahan yang digunakan untuk kenduri terdiri atas:
1.      Nasi gurih (sekul wuduk)
2.      Ingkung (ayam dimasak utuh)
3.      Urap (gudhangan dengan kelengkapannya)
4.      Cabai merah utuh
5.      Krupuk rambak
6.      Kedelai hitam
7.      Bawang merah yang telah dikupas kulitnya
8.      Bunga kenanga
9.      Garam yang telah dihaluskan
10.  Tumpeng yang dibelah dan diletakkan dengan saling membelakangi (tumpeng ungkur-ungkuran)




2.      Upacara tigang dinten (tiga hari)
Upacara ini merupakan upacara kematian yang diselenggarakan untuk memperingati tiga hari meninggalnya seseorang. Peringatan ini dilakukan dengan kenduri dengan mengundang kerabat dan tetangga terdekat.
Bahan untuk kenduri biasanya terdiri atas:
1.      Takir potang yang berisi nasi putih dan nasi punar dan lauk pauknya, dilengkapi dengan sudi-sudi yang berisi kecambah, kacang panjang yang telah dipotongi, bawang merah yang telah diiris, garam yang telah digerus (dihaluskan), kue apem putih, uang, gantal dua buah.
2.      Nasi asahan dengan daging ayam yang telah digoreng, lauk-pauk kering, sambal santan dan sayur menir.
Maksudnya juga tidak terlalu jauh berbeda dengan upacara ngesur tanah diatas, yaitu agar roh yang meninggal mendapatkan jalan terang menghadap Tuhan. Secara rasional, makna upacara ini adalah menyempurnakan 4 perkara yang disebut anasir; yaitu bumi, angin, api dan air atau nafsu luamah, amarah ,sufiah ,mutmainah.
3.    Upacara pitung dinten (tujuh hari)
Upacara ini untuk memperingati tujuh hari meninggalnya seseorang.Bahan yang digunakna untuk kenduri biasanya terdiri atas:
1.      Kue apem yang di dalamnya diberi uang logam, ketan, kolak (semuanya diletakkan dalam satu takir dari daun pisang)
2.      Nasi asahan dengan lauk pauk, daging goreng, pindang merah yang dicampur dengan kacang panjang yang diikat kecil-kecil, dan daging jeroan yang ditempatkan dalam wadah berbentuk kerucut (conthong), serta pindang putih.
Maksud selamatan ini ialah sama dengan selamatan tiga hari, dan bermakna unruk menyempurnakan kulit dan kuku jenazah.
4. Upacara sekawan dasa dinten (empat puluh hari)
Upacara ini untuk memperingati empat puluh hari meninggalnya seseorang. Biasanya peringatannya dilakukan dengan kenduri. Bahan untuk kenduri biasanya sama dengan kenduri pada saat memperingati tujuh hari meninggalnya, namun ada tambahan dengan selamatan kataman(pembacaan Al-Qur’an)yang sesajinya adalah sebagai berikut:
1.      Nasi wuduk
2.      Ingkung
3.      Kedelai hitam
4.      Cabai merah utuh
5.      Rambak kulit
6.      Bawang merah yang telah dikupas kulitnya
7.      Garam
8.      Bunga kenanga
Maksud selamatan ini supaya roh yang meninggal dunia diterima Tuhan sesuai dengan amal baktinya semasa hidup. Makna dari selamatan ini adalah menyempurnakan pembawaan dari ayah dan ibunya berupa darah, daging, sumsum, jeroan (isi perut), kuku, rambut, tulang dan otot.
5. Upacara nyatus (seratus hari)
Upacara ini untuk memperingati seratus hari meninggalnya seseorang. Tata cara dan bahan yang digunakan untuk memperingati seratus hari meninggalnya pada dasarnya sama dengan ketika melakukan peringatan empat puluh hari. Disebut juga selamatan mendhak pisan (setahun pertama).
Upacara mendhak pisan merupakan upacara yang diselenggarakan ketika orang meninggal pada setahun pertama. Tata cara dan bahan yang diigunakan untuk memperingati seratus hari meninggalnya pada dasarnya sama dengan ketika melakukan peringatan seratus hari. Dan juga Selamatan mendhak pindho (tahun kedua).Upacara mendhak pindho merupakan upacara terakhir untuk memperingati meninggalnya seseorang. Tata cara dan bahan yang digunakan untuk memperingati seratus hari meninggalnya pada dasarnya sama dengan ketika melakukan peringatan mendhak pisan. Maksudnya juga seperti selamatan 40 hari, yaitu untuk menyempurnakan semua yang bersifat badan wadag (jasad)
6. Upacara seribu hari (nyewu)
Merupakan peringatan seribu hari bagi orang yang sudah meninggal. Peringatan dilakukan dengan mengadakan kenduri yang diselenggarakan pada malam hari. Biasanya diadakan secara besar-besaran, dibacakan ayat suci Al-Qur’an dan disebut upacara tahlilan.Bahan yang digunakan untuk kenduri sama dengan bahan yang digunakan pada peringatan empat puluh hari. ditambah dengan:
1.      Menyembelih seekor kambing, Hal ini dimaksudkan untuk mengirim tunggangan bagi arwah yang mati supaya lekas sampai surga.
2.      Sesaji, terdiri atas tikar bangka, benang lawe empat puluh helai, jodhog, clupak berisi minyak kelapa dan uceng-uceng (sumbu lampu), minyak kelapa satu botol, sisir, serit, cepuk berisi minyak tua, kaca/cermin, kapuk, kemenyan, pisang raja setangkep, gula kelapa setangkep, kelapa utuh satu butir, beras satu takir, sirih dengan kelengkapan untuk menginang, bunga boreh. Semuanya diletakkan di atas tampah dan diletakkan di tempat orang berkenduri untuk melakukan doa.
Makna dari upacara ini adalah untuk menyempurnakan kulit, daging dan jeroan jenazah.
7. Nyadran
Nyadran adalah hari berkunjung ke makam para leluhur/kerabat yang telah mendahului. Nyadran ini dilakukan pada bulan Ruwah atau bertepatan dengan saat menjelang puasa bagi umat Islam. Nyadran dilakukan oleh orang sedesa dengan menyembelih 1 ekor kambing. Kata ruwah sendiri merupakan singkatan dari weruh arwah jadi dimaksudkan untuk melihat arwah para leluhur.
Disetiap selamatan yang telah disebutkan diatas, selalu menggunakan kembang setaman, yang bermakna penghormatan kepada jenazah dan untuk mengenang kebikan-kebaikan yang dilakukan selama hidupnya dan suatu upaya keluarga untukk mendo’akan agar arwahnya diterima Tuhan. Dan setiap sesajen kenduri / selamatan, bermakna agar keselamatan selalu mengiringi orang yang meninggal sampai menghadap Tuhan.
Budaya Jawa terkenal mudah untuk menyerap budaya dari luar yang masuk tanpa kehilangan identitasnya. Suatu misal, dengan masuknya agama Islam, ritual selametan biasanya ditambahi dengan pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an, seperti Surat Yasiin dan Tahlil.
Meski bagi sebagian masyarakat yang memahami Islam secara murni hal ini dapat dikategorikan sebagai bid’ah, namun bagi masyarakat yang masih memegang teguh tradisi leluhur hal ini sulit untuk ditinggalkan. Masyarakat merasa takut jika tidak melaksanakannya karena mereka menganggap ada konsekuensinya jika tidak melaksanakan. Berdasarkan observasi yang kami lakukan, di desa Salaman Kabupaten Karanganyar banyak warga yang menyebut bahwa kenduri/ selamatan atas meninggalnya seseorang yang mereka lakukan itu adalah warisan dari orang tua dahulu, banyak dari mereka yang kurang faham mengenai makna kenduri tersebut, yang mereka tahu adalah dengan kenduri/ selamatan mereka akan memperoleh keselamatan dunia maupun akhirat.
5. Ubo rampe dalam kenduri
1.    Daun kelor atau dhadhap srep : bermakna bahwa mayit yang dimandikan hilang dari dosa-dosanya (simbol daun kelor), jalan menuju Tuhan akan mudah dan akan menjadi damai (simbol daun dhadhap srep).
2.    Menyembelih kambing : bermakna sebagai tunggangan mayat untuk menuju ke hadapan Tuhan. Kambing ini dimaksudkan sebagai tumpakan roh orang yang mati agar selamat melewati wot siratolmustakim.
3.    Burung merpati sepasang : bermakna agar mayat diharapkan saat menghadap Tuhan dalam keadaan suci bersih tanpa dosa dan beban.
4.    Sesajen kenduri : bermakna agar keselamatan selalu mengiringi orang yang meninggal sampai menghadap Tuhan.
5.    Kelapa muda : mempunyai arti toya wening/toya suci (air yang melambangkan kehingan dan kesucian). Jadi kelapa muda merupakan simbol yang mengandung harapan agar orang yang barusaja meninggal dilimpahi kesucian sehingga dapat segera menghadap Tuhan.
6.    Payung : Payung merupakan tanda belas kasih cinta sanak keluarga terhadap orang yang baru saja meninggal. Dimaksudkan agar orang yang baru saja meninggal itu tidak kehujanan dan kepanasan selama di liang kubur.
7.    Kembang setaman : bermakna penghormatan kepada jenazah dan untuk mengenang kebaikan-kebaikan yang dilakukannya selama hidupnya dan juga suatu upaya keluarga untuk mendoakan agar arwahnya diterima Tuhan.
8.    Tumpeng ungkur-ungkuran : bermakna bahwa mayit telah berpisah antara jasmani dan rohnya. Tumpeng Pungkur – digunakan pada saat kematian seorang wanita atau pria yang masih lajang. Dibuat dari nasi putih yang disajikan dengan lauk-pauk sayuran. Tumpeng ini kemudian dipotong vertikal dan diletakkan saling membelakangi. Tumpeng pungkur mempunyai makna simbolis agar roh yang telah meninggal tidak lagi memikirkan keduniawian dan keluarga yang ditinggalkannya. Roh harus ngungkurake donyane atau membelakangi dunia fana dan berpisah dengan badan kasar serta nafsunya (napsu patang pralcara). Di pihak lain, keluarga yang ditinggalkan tidak perlu lagi mengingat-ingat yang sudah mati. Tumpeng sebagai lambang seks (alat kelamin) laki-laki. Karena itu jika seseorang telah meninggal dunia, maka nafsu seks pun juga telah mati. Tumpeng juga melambangkan perpisahan antara suksma sejati dengan badan kasar dan nafsunya.
9.    Tumpeng Nasi Putih – warna putih pada nasi putih menggambarkan kesucian dalam adat Jawa.
10.  Nasi putih: berbentuk gunungan atau kerucut yang melambangkan tangan yang merapat menyembah tuhan. Nasi putih juga melambangkan bahwa segala sesuatu yang kita makan menjadi darah dan daging haruslah dipilih dari sumber yang bersih atau halal. Bentuknya yang berupa gunungan juga dapat diartikan sebagai harapan agar kesejahteraan hidup kita semakin “naik” dan “tinggi”.
11.  Tumpeng : sebuah nasi yang dibentuk menyerupai gunung, mengerucut. Orang Jawa kuno mempercayai bahwa di tempat yang tinggi yaitu gunung roh-roh nenek moyang bersemayam. Dengan membuat tumpeng diharapkan roh nenek moyang hadir dalam acara yang diadakan oleh manusia. Pada masyarakat Hindu tumpeng dilambangkan sebagai gunung Mahameru yang merupakan tempat yang suci dan keramat dimana disitu adalah tempat bersemayamnya para dewa. Dalam islam tumpeng yang mengerucut ke atas merupakan filosofi ke Esaan. Dengan adanya tumpeng yang memiliki filosofi seperti itu diharapkan manusia bisa selalu ingat pada kekuasaan Allah SWT, dan juga merupakan bentuk rasa syukur kepada Tuhan YME, Rasul, serta danyang yang telah menjadi pondasi suatu daerah.
12.  Sega asahan (ambeng) adalah nasi yang dikemas berbentuk bulat dan agak mbenunuk (seperti bukit yang rendah). Bentuk semacam ini melambangkan alat seks (alat kelamin) seorang wanita. Jika seseorang telah meninggal maka nafsu seksualnya sudah tiada lagi. Dengan kata lain bahwa yang bersangkutan sudah sampai ke tingkat ambeng (ngambang) atau hilang sarna sekali nafsu seksualnya.
13.  Pisang: Dalam kenduri pisang dikaitkan dengan kata pisah, yang artinya dalam kehidupan manusia tidak terpisah dari sang penguasa, jadi hendaknya manusia harus selalu ingat kepada sang penguasa. Pemakaian pisang raja satu sisir yang diikat dengan benang putih. Benang tadi oleh kaum pada saat memimpin doa (ngekralke) diputus menggunakan gunting. Pemutusan ini menandai bahwa sudah tidak ada hubungan lagi antara roh orang yang meninggal dengan keluarga.
14.  Ingkung ayam adalah ayam utuh yang dibentuk seperti posisi wanita duduk timpuh atau seperti posisi orang sedang duduk pada saat shalat. Bentuk semacam ini menggambarkan sikap orang yang sedang manekung (bersemadi). Hal ini sesuai dengan makna kata ingkung yang berasal dari kata ing (ingsun) dan kung (manekung). Kata ingsun berarti aku dan kata manekung berarti berdoa dengan penuh khidmat. Dengan demikian ingkung merupakan perwujudan sikap ahli waris yang dengan sungguh-sungguh memohon doa agar anggota keluarganya yang telah meninggal diampuni segala dosa-dosanya dan mendapatkan tempat yang semestinya. Ayam utuh atau ingkung: ayam jika diberi makan tidak langsung dimakan tapi dipilih yang baik dulu yang dimakan, manusia diharapkan bisa memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Ingkung ayam adalah ayam utuh yang dibentuk seperti posisi wanita duduk timpuh atau seperti posisi orang sedang duduk pada saat shalat. Bentuk semacam ini menggambarkan sikap orang yang sedang manekung (bersemadi). Hal ini sesuai dengan makna kata ingkung yang berasal dari kata ing (ingsun) dan kung (manekung). Kata ingsun berarti aku dan kata manekung berarti berdoa dengan penuh khidmat. Dengan demikian ingkung merupakan perwujudan sikap ahli waris yang dengan sungguh-sungguh memohon doa agar anggota keluarganya yang telah meninggal diampuni segala dosa-dosanya dan mendapatkan tempat yang semestinya. Ayam jago atau jantan yang dimasak utuh ingkung dengan bumbu kuning/kunir dan diberi kaldu santan yang kental merupakan simbol menyembah Tuhan dengan khusuk (manekung) dengan hati yang tenang (wening). Ketenangan hati dicapai dengan mengendalikan diri dan sabar (nge’reh’ rasa). Menyembelih ayam jago juga mempunyai makna menghindari sifat-sifat buruk yang dilambangkan oleh ayam jago, diantaranya adalah sombong, congkak, kalau berbicara selalu menyela dan merasa tahu/menang/benar sendiri (berkokok), tidak setia, dan tidak perhatian dengan anak istri.
15.  Serundeng: parutan dari kelapa yang digoreng, aroma dari serundeng ini dipercaya menyengat sampai ke akhirat, untuk itu dibuat serondeng agar arwah leluhur datang ke acara kenduri.
16.  Cok bakal: isi cok bakal adalah telur, kemiri, bunga mawar, yang diwadahkan daun pisang (takir). Warna putih pada telur berarti bersih sedangkan warna kuning berarti cahaya Illahi, diadakan telur agar manusia selalu ingat akan awal dari kehidupan yang diciptakan dari Tuhan. Kemiri merupakan salah satu jenis dari pohon dimana pohon mengalami siklus yang berawal dari biji, kemudian tumbuh, berbunga, berbuah, setelah itu mati. Ini agar mengingatkan agar manusia menyadari dari mana ia berasal dan kembali kepada siapa. Bunga yang ada dalam cok bakal memiliki bau yang harum, bunga mengingatkan akan arwah leluhur dan mengundang leluhur.
17.  Kembang telon: kembang telon isinya adalah bunga mawar, kanthil, dan kenanga. Warna merah pada bunga mawar merupakan perlambang manusia berasal dari darah merah ibu, warna putih pada kanthil perlambang bahwa manusia berasal dari air yang berwarna putih (mani) yang asalnya dari ayah, dan kenanga memiliki kenang-a yang berarti tercapai. Kembang telon juga melambangakn jika manusia mati maka yang di tinggalkan adah tiga perkara yaitu amal jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak soleh.
18.  Beras kuning dan koin: warna kuning merupakan warna keemasan atau kejayaan. Beras kuning dan koin disebarkan di sepanjang jalan krtika mengantar jenazah sampai makam. Maknanya adalah agar manusia selalu beramal, lebih-lebih ketika seorang tersebut berada pada tarap kejayaan.
19.  Ikan Teri/Gereh Pethek: ikan ini dapat digoreng dengan tepung atau tanpa tepung. Ikan teri ukurannya sangat kecil dan mudah menjadi santapan ikan yang leih besar apabila ia berenang sendirian. Oleh karena itu ikan teri hidupnya selalu bergerombol. Ini mengingatkan manusia bahwa mereka tidak bisa hidup sendiri. Mereka adalah makhluk yang lemah dan membutuhkan bantuan orang lain untuk hidup. Dengan demikian, ikan teri melambangkan kerukunan dan kerjasama yang harus dibina sesama manusia.
20.  Maksud dari sajian diharuskan ganjil masih perlu lanjut. Masyarakat Jawa percaya bahwa bilangan ganjil “istimewa” dalam arti tidak dapat dibagi-bagi. Hal ini ditelusuri lebih memiliki nilai melambangkan perjalanan roh dan proses kembalinya jasad untuk menuju pada satu titik, yaitu titik kasampuman (kesempumaan). Kesempumaan bermakna satu, yaitu identik dengan bilangan ganjil.
21.  Sekul wuduk (sega rasul) adalah nasi yang diberi garam. Nasi ini rasanya asin sebagai simbol keilmuan Rasul yang sangat tinggi dan luas sehingga ada peribahasa bahwa orang yang berilmu adalah orang yang banyak malcangaram. Nasi ini oleh Modin (Kaum Rois) sering diikrarkan sebagai tanda penghormatan kepada Rasulullah dengan harapan bahwa roh orang yang meninggal termasuk golongan Rasul, sehingga kelak di akhirat akan mendapatkan safaat Rasul.
22.  Nasi gurih adalah nasi bersantan yang diberi wama kuning keemasan. Wama ini sebagai lambang kemenangan. Dengan ubarampe, ahli waris mengharapkan agar anggota keluarga yang meninggal dunia kelak mendapatkan kemenangan di akhirat. Artinya, jika nanti yang bersangkutan ditimbang amalnya, amal baiknya akan menang (lebih berat) dibanding amal jeleknya.
23.  Apem, ketan, serta pura: apem (afwun) yang artinya ampun, ketan (khata-an) yang berarti kesalahan dan pura (ngapura) yang berarti maaf. Ketiga makanan ini artinya adalah sama yaitu memohon ampun kepada sang penguasa.
24.  Ubarampe apem, saji-sajian selamatan dalam kenduri nelung dina dimaksudkan untuk memberikan penghormatan kepada roh lain agar tidak mengganggu roh orang yang telah meninggal.
25.  Apem dan pasung. Kata apem kemungkinan berasal dari kata Arab afufun yang artinya mohon ampun. Ubarampe ini disajikan denan maksud agar orang yang meninggal diampuni segala dosa-dosanya. Ubarampe apem berbentuk bulatan lepek seperti piring kecil. Bentuk ini mengandung makna sebagai alas jika orang yang meninggal nanti panas akan melewati ara-ara Ma’sar yang sangat lebar.
Sebagai jodoh apem adalah pasung yang kemungkinan besar berasal dari perubahan bunyi kata payung. Pasung dari daun nangka yang dibentuk seperti payung atau dalam bahasa Jawa karma disebut songsong. Maksudnya, agar orang yang meninggal mendapatkan songsong (perlindungan) dari Tuhan.
Karena orang yang meninggal akan melewati jalan panjang dan panas, maka untuk dia dibuatkan ketan sebagai alas (lemek) agar kakinya tidak panas. Ketan juga bermakna raketan artinya mendekatankan diri kepada Tuhan.
Sajian juga dilengkapi kolak yang berasal dari kata khalik atau kolaq (pencipta). Dengan sajian semacam ini, diharapkan orang yang meninggal akan dengan lancar menghadap Sang Khalik.
6. Makna filosofi makanan dalam kenduren
Tradisi kenduri memiliki berbagai macam ketentuan khusus yang harus dilaksanakan sesuai adat istiadat yang berlaku sejak zaman dahulu. Berawal dari persiapan berbagai macam makanan khas kenduri yang terdiri dari nasi gurih, nasi putih, nasi golong, rempeyek kacang, teri, krupuk, tempe, thontho, ayam ingkung, sambel ghepeng, sambel kacang panjang, lalapan, jenang (bubur) merah putih, dan  jenang baro-baro, yaitu  jenang katul  yang diberi parutan kelapa dan sisiran gula jawa. Beberapa dari unsur makanan tersebut memiliki makna tersendiri yang sangat erat hubungannya dengan alam sekitar.
Unsur-unsur makanan yang terdapat dalam acara tersebut cukup lengkap dan banyak variasi. Masyarakat jawa tentunya memiliki alasan mengapa menyajikan berbagai jenis makanan yang begitu lengkap untuk sebuah acara Kenduri. Berikut dijelaskan alasan mendasar atas penyajian berbagai jenis makanan dalam acara kenduri. Islam di Indonesia tentu berbeda dengan Islam yang berkembang di Timur Tengah, sebelum Islam masuk orang-orang Jawa banyak sekali yang menganut agama Hindu yang pada saat itu berkembang pesat di nusantara, bahkan ada juga kalangan masyarakat Jawa yang menganut agama Jawa sebagai pedoman hidup mereka, dan hal–hal yang demikian itu berakulturasi seiring dengan masuknya islam di tanah Jawa dan kemudian melebur menjadi satu yang kemudian sering kita kenal dengan sebutan islam Jawa atau islam kejawen.
Sebenarnya, keberadaan Islam kejawen hingga saat ini masih menimbulkan kontroversia. Itu artinya, ada perbedaan pendapat mengenai status aliran islam kejawen ini. Bagi mereka yang pro (mendukung), tentu aliran ini dianggap sah-sah saja tampa menyalahi ajaran Islam. Namun, bagi mereka yang kontra (menolak), maka aliran ini dianggap sesat dan menyesatkan. Nah yang menjadi persoalan, jika memamng Islam kejawen itu sesat dan kafir, lantas mengapa para wali (khusunya Sunan Kalijaga) yang nota bene adalah gurunya para wali di Tanah Jawa, menggunakan media kejawen sebagai media dakwah penyebaran Islam? Tentunya, masing-masing dari kita memiliki jawaban yang berbeda tentang masalah ini.
7. Roh-roh yang Manuksma pada jasad manusia
Sinkretisme Jawa dengan Islam membuahkan konsep “Islam Kejawen” dalam menjelaskan perkara “hidup-mati” manusia. Diantaranya, bahwa manusia hidup disebut utuh (jangkep) bilamana telah bersatu dan “kasuksma” 8 Roh: Roh Idhofi (Suksma Sejati), Roh Rohani, Roh Jasmani, Roh Nurani, Roh Rahmani, Roh Nabati, Roh Rewani dan Roh Rabani. Ketika manusia meninggal, maka roh-roh yang Manuksma pada jasad manusia tersebut secara bergiliran melepaskan diri.
Keterangannya sebagai berikut :
1.      Pada saat meninggal yang terlepas adalah roh utama manusia yang di sebut Suksmâ Sêjati atau Roh Idhofi yang semasa manusianya hidup roh tersebut menyatu dengan karakter dan watak manusianya.
2.      Pada Hari ke tiga yang terlepas adalah Roh Rohani yang menyatu dengan nafsu.
3.      Pada Hari ke tujuh yang terlepas adalah Roh Jasmani yang menyatu dengan sifat baik manusia
4.      Pada Hari ke empat puluh yang terlepas adalah Roh Nurani yang menyatu dengan akal budi manusia.
5.      Pada Hari ke seratus yang terlepas adalah Roh Rahmani yang mengatur iman dan budi pekerti manusia.
6.      Pada Satu tahun pertama yang terlepas adalah Roh Nabati yang mengatur perkembangan fisik manusia.
7.      Pada Satu tahun kedua yang terlepas adalah Roh Rewani yang juga mengatur perkembangan fisik manusia.

8.      Pada 1000 hari yang terlepas adalah  Roh Rabani yang semasa manusiahidup mengatur peredaran darah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar